Rabu, 26 Agustus 2015

Pra Kata Pengantar

"Sesungguhnya kamu bukanlah apa-apa tanpa kebaikan-kebaikan di sekitarmu."

Saya selalu percaya bahwa kebaikan itu ditumbuhkan dari kebaikan sebelumnya. Hebatnya, kebaikan tumbuh seribu kali lebih banyak dan kuat dari benihnya. Bagi saya yang serba rata-rata di hampir semua bidang, ini jadi hal yang agak menenangkan.

Prestasi akademik biasa saja. Motivasi memenuhi pencapaian akademik apalagi, kayaknya lebih rendah dari biasa aja (?). Maka dari itu dari dulu saya takut sekali sama skripsi. Mungkin karena terbayang kalau akan sendirian mengerjakannya, mengejar dosen pembimbing sendiri, perbaikan sendiri, baca sendiri, segala-gala serba sendiri.

Serba sendirian itu mimpi buruk bagi mahluk kolektivis seperti saya. Lebih buruk dari makan pepaya pas hujan deras sambil mati lampu. Iya, saya benci pepaya, takut gelap, dan takut petir.

Ini semester ke-sembilan saya kuliah. Kalau menurut peraturan universitas, ini sudah melampaui waktu normal orang berkuliah. Sampai waktu pembayaran uang kuliah, kami (mahasiswa semester sembilan) harus mengisi surat permohonan perpanjangan waktu kuliah-something. Nope, saya nggak akan menuliskan pembelaan apapun di paragraf ini

Balik lagi soal skripsi. Dosen pembimbing saya cukup keras dalam memberi umpan balik, judul skripsi yang saya kerjakan merupakan judul kelima saya. Hehehe. Variabelnya udah diganti-ganti kayak orang ganti daster (kalau pakai analogi kaos kaki kecepetan soalnya). Suntuk? Ya iyalah.

Beberapa minggu ini saya ada di fase nggak-tahu-lagi-mau-ngapain. Saya duduk berjam-jam depan layar notebook, baca banyak jurnal ilmiah dan buku, nulis seadanya. Begitu berhasil bikin draf yang agak bagus, draf saya luluh lantak lagi usai dibawa bimbingan. Rasanya nggak menyenangkan sama sekali, ditambah dengan kewajiban menjawab pertanyaan orang-orang yang hanya fokus dengan: "Belom lulus juga?" "Kapan skripsinya selesai?" "Bisa selesein cepetan nggak?"

Teman-teman saya yang satu dosen pembimbing kayaknya mulai kasihan liat saya yang paling bungsu (progresnya). Usai bimbingan kami membentuk grup diskusi kecil untuk membahas umpan balik pembimbing kami dan membenahi outline (saya). Serius, mereka siap sedia kalau ditanya dan dimintai tolong mencari sumber dan data. I can't thank you guys enough dear Kak Rani, Eka, Ghia!

Beberapa teman saya yang concern tentu saja menanyakan keadaan saya. Sebagai teman yang tidak asertif, saya biasanya cuma menjawab seadanya dengan "Nggak apa-apa." atau "Hahaha iya tadi drafnya harus diulang lagi." Duh, sebagai sama-sama pejuang skripsi saya tahu pasti mereka juga punya masalah. Yakali deh masa saya mau curhatin soal masalah skripsi saya.

Trus Lidya yang gigih nanya akhirnya bikin saya curhat soal skripsi saya. Biasanya saya jarang curhat soal skripsi sama Lidya karena (1) Topik kami beda jauh banget dan (2) Lidya ini urusannya banyak dan anaknya sibuk banget. Tapi baiknya Lidya mulai menawarkan social support seperti "Mau gue nginep di sana?" "Mau ngerjain di dunkin?" "Mau nginep tempat gue?" sampai informational support "Udah tanya Siddhi soal referensinya?" "Skripsi lo kan ada yang variabelnya sama kayak Sinta, coba tanya dia." "Kenapa drafnya ditolak? Coba sini cerita." "Boleh menentang dosennya nggak?"

Singkat cerita berdasarkan masukan Lidya, akhirnya saya (1) hubungi Sid untuk tanya referensi dan ngomongin teori, (2) hubungi Sinta untuk tanya soal variabel yang sama.

Siddhi yang memang pusatnya segala referensi di angkatan kami nggak butuh waktu lama untuk memberi tahu kalau ternyata ada teori lain yang bisa jadi acuan penelitian. Sinta langsung kirim drafnya dan memberi kontak senior yang penelitiannya mirip dengan kami (Kak Arl, you are an angel!).

Draf saya memang belum selesai sih saat saya menuliskan post ini. Tapi setidaknya saya nggak merasa sendirian setelah tahu bahwa banyak yang mau membantu saat saya dalam kesulitan.

Saya jadi ingat perkataan seorang yang dekat tadi siang saat suasana hati saya sedang buruk-buruknya: "Ini hanya hal kecil di hidupmu. Jangan habiskan energi untuk sakit hati. Fokus pada yang sayang dan peduli ya."

Buat kamu yang juga sedang merasa susah dan sendirian, jangan ragu meminta bantuan mereka yang dekat. Fokus pada yang sayang dan peduli ya :)

Udah ah, saya mau nulis lagi!

ps: terima kasih untuk semua yang sayang dan peduli yang belum disebutkan namanya di post ini <3

Selasa, 10 Maret 2015

Fasil Galak


Kamu tau fasilitator kan?

Itu lho, yang biasanya menjadi pembimbing kelompok di acara training. Kalau kampus atau perusahaan kamu pernah mengadakan training, manusia yang bawa stopwatch (kadang papan jalan) dan menemani (biasanya) kelompok kamu selama training itu namanya fasilitator.

Minggu kemarin saya dan tim saya dapat kesempatan belajar dalam rangka rekrutmen anggota organisasi di salah satu Fakultas di UNPAD. Pembelajaran ini bentuknya menyusun metode rekrutmen demi mendapatkan calon yang sesuai dengan organisasi.

Di awal, tim kami dan klien (perwakilan organisasi yang mengadakan rekrutmen) bertemu untuk menyusun kriteria-kriteria apa saja yang diinginkan ada di diri anggota organisasi. Rapat ini dilangsungkan beberapa kali untuk mencocokkan kemampuan kami, teori yang ada, dan keinginan klien.

Setelah kriteria-kriteria disepakati, kami memutuskan metode apa yang digunakan demi menggali potensi calon anggota. Kemarin kami menggunakan interview dan games. Berhubung jumlah anggota tim terbatas akhirnya semua berkontribusi mengurus interview dan games.

Sebagai fasilitator, saya diberikan jawab berupa satu game. Selain mengurusi satu game, saya juga diberikan peran berupa fasil yang tegas (baca: menyebalkan). Fasil tegas ini tugasnya memberikan pressure kepada tim dan melihat bagaimana tim bekerja dan mengambil keputusan di dalam tekanan.

Seberapa menyebalkan sih? Saya memasang muka irit senyum dengan menyapa setiap kelompok yang datang dengan dialog:

Saya (S): "Kalian kelompok berapa?"
K : "Dua."
S : "Punya identitas lain selain nomor kelompok?"
K: "Punya teh (panggilan kakak perempuan dalam bahasa Sunda), kami punya yel-yel."
S : "Oh. Punya yel-yel?"
K : "Iya." (siap-siap memeragakan yel-yel)
S : "Saya nggak perlu denger yel-yelnya."

Fasil tegas juga punya peran memberikan tekanan pada kelompok dan melihat seberapa yakin kelompok dengan kemampuan mereka melalui tantangan yang diberikan pada saat games. Berhubung saya sudah lahir dengan raut yang nggak bersahabat, peran ini nggak sulit buat saya. Meskipun kalau boleh memilih, saya lebih suka jadi fasil yang riang, sih.

Senin, 09 Maret 2015

Uti's Late Bday Lunch


Setelah bikin kejutan kecil-kecilan di hari Sabtu, siang ini saya-Lid-Sid-Tata makan gratis disponsori Mamanya Uti. Di sela kesibukan semester akhir yang terpisah-pisah, kumpul bareng jadi hal seru dan ngangenin! Hehehe

Mau pamer pesenan dulu ya :3






Selasa, 02 Desember 2014

Anak Muda Ignorant

Pasar Seni ITB 2014
Seperti anak muda Bandung coret kebanyakan, saat ada berita bahwa Pasar Seni ITB akan diadakan lagi, saya ikut senang luar biasa. Pasalnya, terakhir saya menikmati Pasar Seni ITB adalah 12 tahun lalu. Datang ke Pasar Seni bukan cuma hangout buat saya, tapi juga nostalgia.

Acaranya ramai sekali, sudahlah saya rasanya nggak perlu menulis betapa kreatif dan keren panitianya dalam mempersiapkan acara sebesar ini. Oh ya, Pasar Seni ITB ini disebut-sebut sebagai acara yang lingkupnya Asia Tenggara, lho.


Bersama dengan dua sahabat saya, Lid dan Sid, saya menerobos banyak kerumunan orang. Sampai akhirnya menyerah dan memutuskan untuk pulang. Bayangkan aja, hampir nggak ada spot kosong untuk berjalan. Penuh sesak dengan pengunjung, hu hah!


Yang paling menyedihkan buat saya, ya pengunjung yang nggak tertib. Segala hal diterabas demi mendapatkan ruang jalan yang lowong. Akhirnya, banyak properti acara yang rusak. Panitia yang melihat 'ketidaksopanan' pengunjung sudah berusaha mencegah dengan menempatkan petugas keamanan, namun ternyata pengunjungnya lebih galak dari petugasnya :(

Saya sendiri nggak paham sama perilaku pengunjung yang ignorant. Acara bagus begini sudah dibuat gratis dan terbuka untuk umum, kok malah sewenang-wenang merusak kampus orang?



Menurut saya, anak muda harusnya sudah mulai berpikir komunal. Bukan komunis, ya. Segala sumber daya yang ada sebagai milik semua, milik masyarakat. Bukan cuma menaati aturan karena menghindari hukuman, tapi menyadari kenapa aturan dibuat dan manfaatnya.

Bayangkan kalau semua orang sadar trotoar digunakan untuk pejalan kaki, rumput dipelihara untuk penghijauan, pohon dirawat untuk paru-paru kota. Dimanapun kamu tinggal, jadi indah kan? :)